Berwisata di Kota Tua di malam hari memberikan sensasi yang berbeda, foto-foto dibawah ini menceritakan tentang eksotika keindahan Kota Tua di malam hari. Sore hari selepas bekerja di hari Jumat, walaupun mendung menggelayuti langit Ibukota di awal Februari 2010, tak mampu membendung niat untuk menelusuri setiap jengkal Kota Tua.
Memulai petualangan di Kota Tua terasa kurang lengkap tanpa mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa yang sarat dengan sejarah perjuangan melawan kolonial. Pelabuhan ini terletak di kelurahan Penjaringan Jakarta Utara. Pelabuhan Sunda Kelapa tersohor sejak abad ke-12 dan saat itu merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda yang beribukota di Padjajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjelajah Eropa, Sunda Kelapa menjadi primadona di kalangan kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Sebaiknya mengunjungi pelabuhan ini dapat dilakukan di sore hari agar kita mendapatkan waktu yang pas untuk menikmati momen eksotis Kota Tua di malam hari. Sebagai bonusnya, kita dapat melihat dengan lebih gamblang, suasana pelabuhan dan kesibukan sore hari buruh angkut.
Saat ini nama Sunda Kelapa dikenal hanya sebagai salah satu nama pelabuhan di Jakarta, jika ditilik lebih dalam sejarahnya, dahulu daerah ini menjadi sangat penting karena perkampungan di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal-bakal berdirinya kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527. Masjid Luar Batang di Pasar Ikan yang menaranya tampak menjulang diantara perkampungan padat memiliki sejarah toponimi (penamaan) yang unik. Di masjid ini terdapat makam seorang ulama bernama Alhabib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus yang meninggal pada tanggal 24 Juni 1756. Nama masjid ini diberikan sesuai dengan julukan Habib Husein,yaitu Habib Luar Batang. Ia dijuluki demikian karena konon dahulu ketika Habib Husein dikuburkan, pada saat digotong ke "kurung batang" ( sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Luar_Batang ).
Beranjak beberapa ratus meter dari Pelabuhan Sunda Kelapa, terdapat Menara Syah Bandar (De uitkijkpost) memiliki fungsi sebagai pos pengawas bagian bawah. Menara tersebut berstruktur beton dan kayu bercat bewarna salem dan merah maroon. Tepat di depannya, diseberang kanal terdapat bangunan tua yang kental dengan nuansa atribut VOC yakni Galangan Kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), diperkirakan berdiri tahun 1628 yang saat itu berfungsi sebagai kantor dan tempat dagang VOC. Sesuai dengan namanya, menurut sejarah pada awalnya Galangan kapal VOC memiliki fungsi utama sebagai tempat untuk memperbaiki kapal-kapal besar dan untuk membuat kapal-kapal kecil. Saat ini fungsinya beralih menjadi restoran yang terbilang mewah.
Lampu-lampu jalanan tampak mulai menyala menemani cahaya rembulan yang bersinar muram. Menjadi pertanda petualangan Kota Tua di malam hari akan segera dimulai. Melintasi sudut-sudut kota terasa sedikit mencekam dan memancing adrenalin. Nuansa 'jalanan' dengan berbagai aktivitas malam cukup terasa jika kita melintasi sisi-sisi jalan Kota Tua. terasa acuh dan begitu dingin...
Mengunjungi Kota Tua di malam hari semakin terasa indah jika kita menyempatkan untuk bertandang ke Jembatan kota Intan, inilah salah satu spot terbaik bagi pecinta fotografi, karena nuansa kolonial terasa amat kental dengan pencahayaan yang sangat dramatis terlebih dihiasi dengan latar hotel Batavia yang berasitektur Eropa dan kaya akan nilai sejarah. Jembatan ini memiliki riwayat toponimi yang cukup panjang dimulai dari penamaan Jembatan Inggris, Jembatan Pasar Ayam, Jembatan Ratu Juliana (Ophaalsburg Juliana), hingga terakhir diberi nama Jembatan Kota Intan karena dahulu disini terdapat Kastil Batavia yang bernama 'Diamond'. Uniknya jembatan ini, dahulu memiliki struktur mekanis sebagai Jembatan Angkat, sehingga kapal-kapal dapat melintas di bawahnya, sayang sekali saat ini tidak dapat berfungsi lagi karena termakan umur dan cuaca ditambah dengan perbuatan vandalisme manusia.
Saatnya menuju inti dari petualangan Kota Tua di malam hari yaitu mengunjungi Museum Fatahillah / Museum Sejarah Jakarta yang dahulu dipergunakan untuk Stadhuis atau Balai Kota, yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn. Arsitektur bangunan ini serupa dengan Istana Dam di Amsterdam. Heran, itulah suasana hati ketika menginjakkan kaki di sana, karena awalnya menduga suasana Museum Sejarah Jakarta di malam hari bakal terasa sepi, mencekam, dan horror. Hilang sudah semua dugaan tersebut karena apa yang terlihat didepan mata yakni aktivitas kegiatan yang begitu dinamis. Terlihat ramai dengan kegiatan kawula muda, bermain dan bercengkrama dibawah sinar lampu kekuningan. Tak perlu khawatir bila membawa kendaraan bermotor karena parkir cukup aman (keluar-masuk kendaraan bermotor harus menggunakan tiket) dengan hanya membayar retribusi parkir sebesar Rp.2000 (th. 2010). Bagi yang perutnya keroncongan, terdapat jajaran pedagang yang menjajakan berbagai jajanan malam dengan menu dengan banyak pilhan dan pastinya dengan harga masuk akal.
Puas menjelajahi pelataran Museum Sejarah Jakarta, saatnya mulai beranjak menelusuri sudut-sudut Kota Tua yang lain. Mulai dari bekas Bar (baca : tempat minum-minum) yang sangat cantik (terdapat jasa pemotretan dengan hiasan mobil dan motor antik), Museum Bank Indonesia yang bergaya arsitektur Eropa kolonial, lorong jalanan yang sepi, hingga restoran yang memanfaatkan bangunan peninggalan kolonial yakni Cafe Batavia yang berada di sisi yang berhadapan dengan Museum Sejarah Jakarta. Sepanjang perjalanan, dimanjakan dengan spot-spot fotografi yang sangat indah kaya dengan bangunan sejarah yang seakan-akan ingin bercerita tentang riwayatnya. Suasana penerangan yang redup kekuningan menambah suasana dingin dari sudut-sudut Kota Tua. Tak ayal meski malam semakin larut, sepasang calon pengantin tampak asik diabadikan gambarnya.
Kota Tua dapat dinikmati secara berbeda di Malam Hari, penataan sinar lampu di setiap sudut kota yang remang-remang menyinari celah-celah dinding yang lapuk dan terkelupas membuat suasana terasa berbeda dengan kita menikmatinya di siang hari. Dengan keterbatasan kamera yang ada (kamera saku digital dan kamera HP,) terasa cukup sulit untuk mengabadikannya. Oleh karena itu, sebaiknya dalam memotret tidak perlu menggunakan lampu blitz, karena akan merusak warna alami dari objek, namun diperlukan posisi memfoto yang stabil agar foto yang diperoleh tidak berbayang / blur. Untuk mengatisipasi hal tersebut dapat menggunakan bantuan Tripod atau dengan posisi memegang kamera yang stabil.
Tak terasa malam semakin larut, satu hal yang dapat diperoleh pada kunjungan kali ini yaitu Kota Tua menyimpan potensi pariwisata yang luar biasa hebatnya karena kaya akan gedung-gedung peninggalan kolonial yang bersejarah dengan arsitektur Eropa tempo dulu. Amat disayangkan, pemerintah dalam hal ini Pemda DKI Jakarta kurang jeli menangkap peluang ini. Memang di beberapa tempat telah dilakukan perbaikan namun perawatannya terasa kurang memadai, hal ini dapat terlihat dari beberapa bangunan tua yang memiliki kondisi rusak parah. Perbuatan vandalisme oleh oknum masyarakat, turut andil membuat kawasan Kota Tua berkesan kumuh dan kurang aman. Padahal apabila kita berkaca pada negeri jiran Malaysia dengan Kota Malaka-nya, mampu meraup devisa yang sangat banyak dari sektor pariwisata Kota Tuanya. Oleh karena itu, harusnya menjadi tekad bersama untuk melestarikan Kota Tua sehingga dapat dinikmati dan dipelajari oleh generasi mendatang.
*setiap foto diambil tanpa menggunakan pencahayaan tambahan dan tanpa proses pengeditan
2 comments:
heuheuuuu... iye beneR bgT bang, kagak kerawatttt pisan dah... :D
tRus luchunye, balai konservasi koTa tua lagi direhab dan apa yg teRjadi???? --> modeL bangunannya modeRn giThu, ckckckck... *gk konsisTen* :D
AkhiRnya: gw komen di maRi.. :p
Eh ini siapa yah, Dei yah? jgn2 kenal lg... hehehe... tp konon Alhamdulillah Bpk. Jokowi sadar Kawasan Kota Tua menyimpan potensi wisata luar biasa... udah dibenahin yah??? tunggu aku pulang !!! ;)
Post a Comment