Hingga di awal tahun 2009, gue tanpa sengaja membuka file picture di Laptop milik kakak gue, disana terpampang foto Monumen Nasional atau yang lebih dikenal dengan Monas. Meskipun diambil melalui kamera digital biasa dari ruangan kantor tempat kakak gue bekerja, look so professional, Monas terlihat keren. Timbul pertanyaan di dalam hati gue, 'Monas seperti inikah sekarang, are u seriouss?, Monas terlihat lebih indah, metropolitan abiez n icon banget (*logat gaul wkakaka). Gue melihat sisi lain dari Monas, bukan hanya sekedar monumen bersejarah saja yang kental akan makna simbolisnya, melainkan juga sebuah monumen yang sangat hijau, monumen yang “Go Green” istilah kerennya. Mungkin bisa dikatakan 11-12 dengan Central Park di
Monas kini lebih bersahabat, hal itu yang gue rasakan saat menginjakkan kaki kembali di pelataran Monas, hitung-hitung sebagai ajang pembuktian atas kebenaran foto tersebut. Rasanya seperti orang yang baru pertama kali ke Monas, beda banget. Dengan niat menghirup udara pagi yang segar, gue menemukan sebuah taman yang kini tertata lebih apik dan bersih dengan pemandangan kolam-kolam besar. Berbagai jenis tumbuhan dan bunga-bunga cantik bahkan langka menghiasi hampir semua pelataran Monas. Semakin menjelajahi setiap jengkal jalan setapak yang ada di Taman Monas, semakin menarik apa yang gue lihat walaupun semua ini tidak dikenakan biaya (Baca: Gratisan). Tumbuhan langka, bahkan hingga yang mengandung racun seperti Bintaro diinformasikan secara lengkap. Puluhan Burung Merpati bercengkrama liar namun sepertinya dipelihara dengan baik, layaknya taman-taman di Eropa ataupun Amerika Serikat yang sering kita lihat di layar televisi. Bagi yang lelah berjalan, disediakan mobil kereta dengan tampilan yang unik secara gratis (cat: Hari Libur). Sungguh Monas memanjakan para pengunjungnya.
Selanjutnya, setelah puas menikmati udara segar di Taman Monas, dengan hanya membeli tiket masuk sebesar Rp. 2.500 untuk sampai di bagian cawan saja atau Rp 7.500 untuk mencapai ke puncak monas, gue memutuskan untuk naik hingga ke puncak Monas. Namun, sebelumnya gue menelusuri bagian lain yang terdapat di dalam Monas, yaitu ruang sejarah perjuangan nasional yang menceritakan sejarah zaman kehidupan nenek moyang Bangsa Indonesia. Selain itu terdapat ruang yang menyimpan simbol-simbol kemerdekaan Indonesia bernilai sejarah tinggi yang diantaranya adalah naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia lengkap dengan suara asli sang proklamator dibingkai dengan gapura keemasan. Mungkin dulu terasa membosankan bagi gue, namun sekarang ruangan-ruangan tersebut ditata dengan baik dan nyaman bagi pengunjung. Saat pintu elevator terbuka di puncak Monas, pemandangan terasa lebih indah dibandingkan dari balik jendela kantor gue sehari-hari, karena hembusan angin terasa segar. Jakarta dari berbagai sisi dapat kita lihat dari puncak Monas, mulai dari kawasan perkampungan kumuh, bentang gunung di sisi selatan, dan yang paling indah adalah ratusan pencakar langit dengan arsitektur modern khas kota metropolitan. Itulah uniknya Jakarta, terasa lengkap dalam berbagai lini kehidupan, dan keunikan tersebut dapat kita lihat secara lengkap dari atas puncak sebuah monumen bersejarah.
Berbekal pengalaman mengunjungi Monas, ternyata gue disadarkan bahwa kehidupan perkotaan yang bergerak sangat dinamis ini sebaiknya diselingi oleh suatu hal yang dapat menyegarkan jiwa. Diantaranya mengunjungi tempat-tempat indah disekeliling kita, tidak perlu selalu mengeluarkan biaya besar, bisa dimulai dari tempat terdekat seperti taman-taman
0 comments:
Post a Comment